TETANUS NEONATORUM
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Tetanus Neonatotum
adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi berusia kurang 1
bulan) yang disebabkan oleh Clastridium Tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun yang
menyerang sistem saraf pusat).
Masa inkubasi kuman 3-28 hari, namun biasanya 6 hari, dimana
kematian 100% terjadi terutama pada masa inkubasi < 7 hari.
B.
TUJUAN
Agar seluruh
Mahasiswi diharapkan dapat mengetahui ataupun menjelaskan tentang perubahan-perubahan apa saja yang terjadi pada bayi tang mengalami tetanus neonatorum.
BAB II
PEMBAHASAN
TETANUS
NEONATORUM
Penyakit
tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang khas, setelah 2 hari
pertama bayi hidup, menangis dan menyusu secara normal, pada hari ketiga atau
lebih timbul kekakuan seluruh tubuh yang ditandai dengan kesulitan membuka
mulut dan menetek, disusul dengan kejang–kejang (WHO, 1989).
A. Etiologi
Penyebab tetanus neonatorum adalah clostridium tetani yang
merupakan kuman gram positif, anaerob, bentuk batang dan ramping. Kuman
tersebut terdapat ditanah, saluran pencernaan manusia dan hewan. Kuman
clostridium tetani membuat spora yang tahan lama dan menghasilkan 2 toksin
utama yaitu tetanospasmin dan tetanolysin. sedangkan penyebab yang sering dijumpai pada BBLR bukan
karena trauma kelahiran atau afiksia tetapi disebabkan oleh infeksi mana
neonatal antara lain:
1.
Infeksi melalui tali pusat.Perawatan tali pusat tidak memenuhi
standar kesehatan dan akibat
pemotongan tali pusat yang kurang steril
2. Pemberian imunisasi
Tetanus Toksoid (TT) pada ibu hamil
tidak dilakukan, atau tidak lengkap, atau tidak sesuai dengan ketentuan program
3. Pertolongan persalinan
tidak memenuhi persyaratan kesehatan
Clostridium tetani terdapat di tanah, dan traktus digestivus manusia dan hewan. Kuman ini dapat membuat spora yang tahan lama dan dapat berkembang biak dalam luka yang kotor atau jaringan nekrotik yang mempunyai suasana anaerob.
Clostridium tetani terdapat di tanah, dan traktus digestivus manusia dan hewan. Kuman ini dapat membuat spora yang tahan lama dan dapat berkembang biak dalam luka yang kotor atau jaringan nekrotik yang mempunyai suasana anaerob.
4. Pertolongan persalinan tidak
memenuhi syarat atau tidak sesuai APN
B. Patofisiologi
Spora
yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi bentuk
vegetatif dan berbiak sambil menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang anaerobic
ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan
oxigen jaringan akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, garam kalsium yang
dapat diionisasi. Secara intra axonal toxin disalurkan ke sel saraf (cel body)
yang memakan waktu sesuai dengan panjang axonnya dan aktifitas serabutnya.
Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel saraf walaupun toksin telah
terkumpul dalam sel. Dalam sungsum belakang toksin menjalar dari sel saraf
lower motorneuron ke lekuk sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari spinal
inhibitory neurin. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada
inhibitory transmitter dan menimbulkan kekakuan.
C. Manifestasi
Gejala
klinik pada tetanus neonatorum sangat khas sehingga masyarakat yang primitifpun
mampu mengenalinya sebagai “penyakit hari kedelapan” (Jaffari, Pandit dan
Ismail 1966).
Anak yang semula menangis, menetek dan hidup normal, mulai
hari ketiga menunjukan gejala klinik yang bervariasi mulai dari kekakuan mulut
dan kesulitan menetek, risus sardonicus sampai opistotonus. Trismus pada
tetanus neonatorum tidak sejelas pada penderita anak atau dewasa, karena
kekakuan otot leher lebih kuat dari otot masseter, sehingga rahang bawah
tertarik dan mulut justru agak membuka dan kaku (Athvale, dan Pai, 1965,
Marshall, 1968).
Bentukan
mulut menjadi mecucu (Jw) seperti mulut ikan karper. Bayi yang semula kembali
lemas setelah kejang dengan cepat menjadi lebih kaku dan frekuensi
kejang-kejang menjadi makin sering dengan tanda-tanda klinik kegagalan nafas
(Irwantono, Ismudijanto dan MF Kaspan 1987). Kekakuan pada tetanus sangat
khusus : fleksi pada tangan, ekstensi pada tungkai namun fleksi plantar pada
jari kaki tidak tampak sejelas pada penderita anak.
Kekakuan dimulai pada otot-otot setempat atau trismus
kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran. Seluruh
tubuh bayi menjadi kaku, bengkok (flexi) pada siku dengan tangan dikepal keras
keras. Hipertoni menjadi semakin tinggi, sehingga bayi dapat diangkat bagaikan
sepotong kayu. Leher yang kaku seringkali menyebabkan kepala dalam posisi
menengadah. Gejala lain yaitu :
1. Bayi yang semula dapat menetek,
kemudian sulit menetek karena kejang otot rahang dan faring
2. Mulut bayi mencucu seperti mulut
ikan
3. Kejang terutama bila terkena
rangsang cahaya, suara, sentuhan
4. Kadang disertai sesak nafas dan
mulut bayi membiru
5. Suhu tubuh meningkat
6. Kaku kuduk
7. Kekakuan disertai sianosis
8. Nadi meningkat
9. Berkeringat banyak
10. Tidak dapat menangis lagi
11. Mata terus tertutup
12. Dinding perut keras
13. Kesadaran baik
D. Efek Toxin
1. Ganglion pra sumsum tulang belakang
:
Memblok sinaps jalur antagonist,
mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga tonus ototnya meningkat
dan otot menjadi kaku. Terjadi penekanan pada hiperpolarisasi membran dari
neurons yang merupakan mekanisme yang umum terjadi bila jalur penghambat
terangsang. Depolarisasi yang berkaitan dengan jalur rangsangan tidak
terganggu. Toksin menyebabkan hambatan pengeluaran inhibitory transmitter dan
menekan pengaruh bahan ini pada membran neuron motorik.
2. Otak :
Toxin yang menempel pada cerebral
gangliosides diduga menyebabkan gejala kekakuan dan kejang yang khas pada
tetanus. Hambatan antidromik akibat rangsangan kortikal menurun.
3. Saraf otonom :
Terutama mengenai saraf simpatis dan
menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hiperthermia, hypotensi,
hypertensi, arytmia cardiac block atau takhikardia. Sekalipun otot yang terkena
adalah otot bergaris terutama otot penampang dan penggerak tubuh yang
besar-besar, pada tetanus berat otot polos juga ikut terkena, sehingga timbul
manifestasi klinik seperti disebutkan diatas.
E. Gambaran
Umum pada Tetanus
1. Trismus (lock-jaw, clench teeth) adalah mengatupnya rahang dan
terkuncinya dua baris gigi akibat kekakuan otot mengunyah (masseter) sehingga
penderita sukar membuka mulut. Untuk menilai kemajuan dan kesembuhan secara
klinik, lebar bukaan mulut diukur tiap hari. Trismus pada neonati tidak sejelas
pada anak, karena kekakuan pada leher lebih kuat dan akan menarik mulut
kebawah, sehingga mulut agak menganga. Keadaan ini menyebabkan mulut “mecucu”
seperti mulut ikan tetapi terdapat kekakuan mulut sehingga bayi tak dapat
menetek.
2. Risus Sardonicus (Sardonic grin)
Terjadi
akibat kekakuan otot-otot mimic dahi mengkerut mata agak tertutup sudut mulut keluar dan kebawah
manggambarkan wajah penuh ejekan sambil menahan kesakitan atau emosi yang
dalam.
3. Opisthotonus
Kekakuan otot-otot yang menunjang tubuh : otot punggung, otot leher, trunk muscle dan sebagainya. Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur, bertumpu pada tumit dan belakang kepala. Secara klinik dapat dikenali dengan mudahnya tangan pemeriksa masuk pada lengkungan busur tersebut.
Pada era sebelum diazepam, sering terjadi komplikasi compression fracture pada tulang vertebra.
Kekakuan otot-otot yang menunjang tubuh : otot punggung, otot leher, trunk muscle dan sebagainya. Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur, bertumpu pada tumit dan belakang kepala. Secara klinik dapat dikenali dengan mudahnya tangan pemeriksa masuk pada lengkungan busur tersebut.
Pada era sebelum diazepam, sering terjadi komplikasi compression fracture pada tulang vertebra.
4. Otot dinding perut kaku, sehingga
dinding perut seperti papan. Selain otot didnding perut, otot penyangga rongga
dada juga kaku, sehingga penderita merasakan keterbatasan untuk bernafas atau
batuk. Setelah hari kelima perlu diwaspadai timbulnya perdarahan paru (pada
neonatus) atau bronchopneumonia.
5. Bila kekakuan makin berat, akan
timbul kejang-kejang umum, mula-mula hanya
terjadi setelah penderita menerima rangsangan misalnya dicubit, digerakkan
secara kasar, terpapar sinar yang kuat dan sebagainya, lambat laun “masa
istirahat” kejang makin pendek sehingga anak jatuh dalam status convulsivus.
6. Pada tetanus yang berat akan terjadi
:
Gangguan
pernafasan akibat kejang yang terus-menerus atau oleh karena spasme otot larynx
yang bila berat menimbulkan anoxia dan kematian.Pengaruh toksin pada saraf
otonom akan menyebabkan gangguan sirkulasi (akibat gangguan irama jantung
misalnya block, bradycardi, tachycardia, atau kelainan pembuluh
darah/hipertensi), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi
(hiperpireksia) atau berkeringat banyak hiperhidrosis).Kekakuan otot sphincter
dan otot polos lain seringkali menimbulkan retentio alvi atau retention urinae.
Patah tulang panjang (tulang paha) dan fraktur kompresi tulang belakang.
Patah tulang panjang (tulang paha) dan fraktur kompresi tulang belakang.
F. Pencegahan
Pencegahannya di sini melalui Imunisasi
TT dan Memperhatikan
sterilitas saat pemotongan dan perawatan tali pusat.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Imunisasi
TT merangsang pembentukan antibody spesifik yang mempunyai peranan penting
dalam perlindungan terhadap tetanus. Ibu hamil mendapatkan imunisasi TT,
sehingga terbentuk antibody dalam tubuhnya. Antibody tetanus termasuk golongan
Ig G, melewati sawar plasenta, masuk dan menyebar melalui aliran darah janin ke
seluruh tubuh janin yang dapat mencegah terjadinya tetanus neonatorum.
B. SARAN
Penulis
mengharapakan kritik dan saran dari pembaca agar penulisan makalah kedepannya
lebih baik, bermanfaat dan dapat dimengerti dengan mudah serta dapat diamalkan
dalam kehidupan sehari-hari.
0 komentar:
Posting Komentar